Friday, June 22, 2012

Kontroversi Menkes Kontroversial

Menkes, Kesetaraan Gender dan Kondom

 
Lebih baik Menkes dengan Menag mengintensifkan pendidikan kesehatan reproduksi berbasis agama

Rabu, 20 Juni 2012

Oleh: Henri Shalahuddin, MA

ORANG
tidak sehat, kok disuruh ngurus kesehatan! Itulah kesan pertama saya ketika mengomentari gebrakan bagi-bagi kondom ke remaja usia 14-24 tahun. Aksi Menkes ini mengingatkan cerita warga Muslim Melbourne yang berpesan kepada anaknya saat mau menghadiri farewell party di sekolahnya, “Hati-hati, jaga kemaluanmu.” Itulah nasehat orangtua kepada anaknya agar tidak tergelincir pada perzinahan. Sementara pada saat yang sama, seorang guru di sekolahnya juga berpesan pada murid-murid agar berhati-hati dan tidak lupa memakai kondom. Itulah cerita seorang ayah tentang beratnya tantangan menanamkan nilai-nilai agama kepada buah hatinya di negara sekular seperti Australia. Agama selalu dihadapkan langsung dengan sekularisme. Bahkan sekularisme terlalu jauh mencampuri urusan keluarga.

Cerita di atas bukannya tidak mungkin akan menimpa remaja di sekitar kita, bahkan anak-anak kita, na’udzu billah! Sebab seperti yang telah terencanakan, ide gila ini justru dipelopori oleh Menteri Kesehatan yang baru, Nafsiah Mboi. Tentunya gerakan Menkes ini tidak sekedar ingin menyaingi Julia Perez yang menyisipkan kondom dalam album perdananya, tapi seolah-olah ia ingin memperolok-olok Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan saat itu) yang menegur Julia Perez karena dinilai Meutia mempromosikan gaya hidup seks bebas. (http://www.sctv.co.id/infotainment/bagi-bagi-kondom-julia-perez-ditegur_19673.html)

Sunday, June 17, 2012

Wawancara KH Hasyim Muzadi soal Intoleransi Agama


Kritik Hasyim Muzadi atas tudingan intoleransi agama di Indonesia dari Dewan HAM PBB mendapat perhatian luas. Sebagai figur berpengaruh, sikap Hasyim dinilai jitu dan tepat mewakili suara mayoritas diam (silent majority). Ia menyangkal memberi angin kepada gerakan garis keras. Rilis KH Hasyim Muzadi ini beredar cepat ke berbagai media cetak, online, jejaring sosial, dan beberapa grup BlackBerry Messenger, pekan pertama Juni ini. Ketua Umum PBNU 1999-2009 itu merespon rekomendasi Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 23 Mei lalu, tentang intoleransi agama di Indonesia. "Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun setoleran Indonesia," tulis Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) itu.
Hasyim menuding intoleransi agama di beberapa negara Eropa lebih buruk daripada di Indonesia. "Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss, yang sampai sekarang tidak memperbolehkan menara masjid. Juga lebih baik dari Prancis yang masih mempersoalkan jilbab. Indonesia pun lebih baik dari Denmark, Swedia, dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada Undang-Undang Perkawinan Sejenis," Hasyim menambahkan.
Sekretaris Jenderal International Conference for Islamic Scholars (ICIS) itu juga memberi catatan pada beberapa kasus aktual yang kerap dijadikan indikasi intoleransi: Ahmadiyah, GKI Yasmin Bogor, penolakan diskusi Irshad Manji, dan konser Lady Gaga. Tentang Irshad Manji dan Lady Gaga, Hasyim menyatakan, "Bangsa mana yang mau tata nilainya dirusak? Kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya untuk kebanggaan intelektualisme kosong."
Banyak komentator di jejaring sosial memberi apresiasi. Ada pula yang menambahkan dua bukti lain keunggulan toleransi agama Indonesia: hari besar enam agama jadi hari libur nasional dan pendidikan enam agama jadi kurikulum sekolah. Di Barat dan Timur Tengah, hari besar agama hanya untuk agama mayoritas.
Sebagian komentar memberi catatan minor. Hasyim dinilai menutup mata atas pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah dan diskusi Irshad Manji. "Saya juga anti-kekerasan," Hasyim merespons. "Saya yang pasang badan mencegah FPI menyerang gereja di Pandaan. Saya nggak hanya bicara di media, juga turun lapangan. Tapi nggak mungkin semua saya tulis dalam rilis singkat itu."
Untuk mendalami pandangan Hasyim tentang potret toleransi agama di Indonesia dalam komparasi internasional, wartawan Gatra Asrori S. Karni mewawancarai Hasyim yang sedang berada di rumahnya, kompleks Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur via telepon, Selasa pagi lalu. Berikut petikannya:

Tuesday, June 12, 2012

Maqashid Syariah Hukum Pidana Islam

مقاصد التشريع الجنائي الإسلامي 

(حسن بن إبرهيم الهنداوي)


لقد أنزل الله هذه الشريعة رحمة للناس ورأفة بهم، وشرع من الحدود ما يدفع به التظالم بين الناس، ويحفظ الأفراد والمجتمع من بلاء عظيم، وخطر عميم. ولذا، فتعدّ أحكام الشريعة المتعلقة بسنّ عقوبات لبعض الجرائم التي يقترفها الناس من حين لآخر جزءا لا يتجزأ من التشريع الإسلامي الحكيم وإنْ كان بغير حقّ مهجور. ناهيك عما وجده نظام العقوبات في الإسلام من جفاء من قبل أهله، فضلاً عما وجهه الغربيّون من اتهامات للفقه الجنائي الإسلامي ووصمه بالتخلف، وسَلْقهم له بألسنة حِدادٍ حيث بدا لهم بادئ الرأي أنّ تشريعاته لا تتماشى مع كرامة الإنسان فضلا عن منافاة قوانينه للتحضر والتمدّن. فاعتقدوا أنّ التشريع الجنائي الإسلامي لا يتفق مع عصرنا الحاضر ولا يصلح للتطبيق اليوم، ولا يبلغ مستوى القوانين الوضعيّة في رقيّها وتحضّرها. فدراسة التشريع الجنائي الإسلامي دراسة مقاصديّة تبرز حِكمه وعِلله المنوطة به لإثبات خلاف ما أثبته المرجفون في الغرب والشرق لها أهميّة كبرى تجعل الفرصة سانحة لكي نعيد الاعتبار لهذا "الجزء المنبوذ والمظلوم في الشريعة الإسلاميّة"، وإزالة ما أثير حوله من شبهات وأباطيل. ناهيك عن إثبات أنّ الجزء المتعلق بالجنايات صالح للتطبيق في عصرنا الحالي، وفي المستقبل كما كان صالحاً كلّ الصلاحيّة في الماضي، بل لعلنا اليوم في حاجة آكد من قبل لتطبيقه لعموم الجنايات وانتشارها في المجتمعات الإنسانيّة انتشار النار في الهشيم، حيث عمّ الفساد البر والبحر بما كسبت أيدي الناس.

ولقد عبّر عبد القادر عوده رحمه الله عن هذا الموقف العدائي من التشريع الجنائي بقوله"أما القسم الجنائي فهو في عقيدة جمهور رجال القانون لا يتفق مع عصرنا الحاضر ولا يصلح للتطبيق اليوم، ولا يبلغ مستوى القوانين الوضعيّة. وهي عقيدة خاطئة مضللة"  لأنها مبنيّة على جهل مطبق بنظام العقوبات في شريعة الإسلاميّة، والغاية من إيقاعها على الجناة المعتدين على حدود الله، والمحدِثِين بالناس ضرراً، وفساداً لا تستأصل شأفته إلا بإيقاع العقوبات الشرعيّة كما حدّدها الشارع على كلّ معتد أثيم. والحاصل أنّ هذه الدّراسة سيتم تقسيمها على مبحثين؛ أولهما يتناول فلسفة العقوبة في التشريع الجنائي ومغزاها ويتمّ ذلك ببيان مقصد الشريعة من العقوبات، وثانيهما يتعرض لأثر التشريع الجنائي الإسلامي في حفظ مقاصد الشارع وحمايتها. وفضلا عن ذلك سيتم دراسة بعض من المسائل الآنفة الذكر مقارنة بالقوانين الوضعيّة المعاصرة المتعلقة بنظام الجرائم وعقوباتها ما استطعت إلى ذلك سبيلا. ولكن قبل الخوض في تفصيل القول في فلسفة العقوبة سأذكر تعريفات مختصرة لكلّ من الجناية، والعقوبة، والجريمة. 

Mesir Memilih Presiden


MESIR MENJELANG PILPRES PUTARAN KEDUA
Muhammad Nadjib 
(Komisi I DPR RI Fraksi-PAN, Ketua Kaukus Parlemen Indonesia untuk Middle East & North Africa)

Pada hari Rabu-Kamis lalu (23-24/5), rakyat Mesir memilih pemimpinnya dalam pilpres demokratis pertama pasca tumbangnya Hosni Mubarak. Hasilnya sudah terbaca bahwa capres dari Freedom and Justice Party (FJP) yang dilahirkan oleh Ikhwanul Muslimin(IM), Mohammad Mursi dengan 24% dan capres Ahmad Shafiq, mantan PM terakhir di era Mubarak, dengan 23% suara sah di urutan teratas. Hasil ini tak pelak mengejutkan publik dan pengamat dalam dan luar negeri yang dalam polling terakhir memprediksi capres Amr Moussa, mantan Sekjen Liga Arab, dan Aboul Futuh, jalur independen, yang akan melaju ke putaran kedua pilpres pada 16-17 Juni.

Dari realitas hasil pilpres putaran pertama, kontestasi di antara para kandidat capres Mesir yang berasal dari aliran politik yang beragam pun akhirnya mengerucut kepada dua arus besar, yaitu Pro-Reformasi yang diwakili capres Mursi berhadapan dengan sisa kekuatan loyalis mantan presiden Mubarak yang disimbolkan oleh capres Shafiq.

Dalam pengalaman banyak negara yang dalam proses transisi demokrasi, memang calon dari kubu rejim lama sering jadi kuda hitam, tak diunggulkan tapi meraup banyak suara. Unggulnya calon dari kubu status quo bisa jadi disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya terpecah belahnya kubu reformis, masih kuatnya jaringan birokrasi-militer, keunggulan pengalaman serta besarnya pendanaan yang dimiliki kelompok status quo.

Friday, June 8, 2012

Pidato Pengukuhan DR (HC) KH. Ma'ruf Amin

PEMBARUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DALAM PENGEMBANGAN PRODUK KEUANGAN KONTEMPORER
(Transformasi Fikih Muamalat dalam Pengembangan Ekonomi Syari’ah)
Oleh: KH. Ma’ruf Amin
Pidato Ilmiah pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan
(Doctor Honoris Causa)
Dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah
Disampaikan di hadapan Sidang Senat Terbuka
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
5 Maret 2012


Mukadimah
Inna Allah yab’ats li hâdzih al-ummah ’alâ kull ra’s mi’ah sanah man yujaddid lahâ dînahâ[1] (Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat in pada setiap pengujung seratus tahun seorang yang memperbarui agama umat ini). Hadits ini merupakan dasar pentingnya pembaruan dalam Islam, karena secara eksplisit dalam hadits ini disebutkan adanya pembaruan dalam agama pada setiap pengujung seratus tahun (seabad), yang kemudian menjadi acuan bagi kebangkitan Islam. Jadi, terdapat siklus rutin setiap abad tentang terjadinya kebangkitan Islam yang diawali dengan adanya pembaruan dalam agama.
Jiwa hadits tersebut sepertinya juga terjadi dalam sejarah kebangkitan nasional di Indonesia. Kebangkitan nasional pertama terjadi pada ujung abad ke-19, yang diawali oleh adanya fatwa para ulama tentang wajibnya membela tanah air dari penjajahan yang kemudian mendorong terjadinya gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda yang dipelopori oleh para ulama, seperti pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Geger Cilegon di Banten, dan sebagainya. Gerakan-gerakan tersebut oleh Sartono Kartodirjo, seorang ahli sejarah Indonesia, disebut sebagai “religious revival” atau kebangkitan agama[2]. Namun menurut hemat saya, istilah yang lebih pas untuk menandai fase tersebut adalah “Islamic revival”, yaitu kebangkitan Islam, karena perlawanan dan gerakan yang dilakukan itu didasarkan atas kesadaran keislaman akan pentingnya membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajahan.